Menunggu Pelangi
(Waiting For a Rainbow)
Aku Andia. Bersekolah di SMA negri dikotaku. Aku mempunyai 1 orang kakak laki-laki dan 1 orang adik perempuan yang amat kusayangi. Aku dibesarkan di tengah keluarga yang sederhana. Ibuku bekeja sebagai tukang jahit, sedangkan ayahku adalah seorang pengangguran pemalas yang tak mau menafkahi keluarganya. Ada satu cerita tentangnya yang membuat aku merasa bersalah padanya sampai sekarang.
Pada masa itu adalah masa-masa krisis moneter. Dimana harga barang pokok melunjak naik tanpa ampun dan membuat rakyat seperti kami harus lebih giat mengais rezeki untuk sesuap nasi. Yaa… krisis itu membuat kammi sekeluarga kelaparan walaupun kami masih beruntung karena masih ada makanan yang masih bisa dimakan.
Ibuku hanya seorang penjahit biasa yang gigih menafkahi keluarganya dengan kemampuan menjahit warisan dari nenek. Pada masa krisis ini, hanya sedikit orang yang mau menjahitkan bajunya pada ibu lantaran mereka kasihan dengan ibu. Maklum, siapa sih yang mau menghambur-hamburkan uangnya pada masa seperti ini ?. semuanya berhemat untuk kelangsungan hidup masing-masing.
Suatu pagi, aku membantu ibu menjahitkan pesanan pelanggan ibu, sambil belajar sedikit agar aku menjadi penjahit dan bisa mengurangi beban beliau.
“bu, Andia bantu yaa” kataku. Sambil menunggu kepastiannya, aku mulai ancang-ancang memegang gunting.
“boleh” sahut ibu. “tolong andia gunting pola yang sudah ibu buat”
“iya, bu” dengan cekatan, aku menggunting pola-pola kain yang sudah di buat ibu.
Tak lama kemudian, lewat ayah yang kemudian menuju meja makan dan membuka tudung saji. Aku hanya sempat meliriknya kemudian kembali melanjutkan pekerjaanku. Tiba-tiba…
BRAAKKK…..
Suara seperti meja yang dihempaskan. Aku dan ibu tersentak. Adikku yang masih tidur tak kalah kaget sampai-sampai ia terbangun dari tidurnya dan menangis. Aku buru-buru ke kamar dan menggendongnya, membujuknya agar berhenti menangis.
“MANA NASI ? AKU LAPAR” teriak ayah dengan suara lantang. Sungguh, aku sangat membenci suaranya seperti itu.
“nasi sudah habis dimakan tadi pagi mas, aku tidak punya uang untuk membeli beras” jawab ibuku dengan sabar.
“KAMU ITU TIDAK BECUS BEKERJA ! UNTUK MEMASAK MAKANAN AKU SAJA PUN KAU LALAIKAN” teriak ayah dengan kasar. Sedangkan ibu hanya diam saja. Ibuku tak mau melawan. Tak lama kemudian, ayah kembali pergi sambil menghempaskan pintu rumah.
Aku gendong adikku dan meletakannya disamping ibu. Kulihat air bening di sudut matanya. Tampak ia sangat menahan apa yang telah terjadi.
“sudahlah bu… ayah kan memang seperti itu” kataku menenangkan ibu. Ibu hanya menatap adikku sambil berusaha menahan airmata yang keluar agar ia tetap terlihat tegar di depan anak-anaknya.
Ibu tersenyum “ayo, kita lanjutkan. Ibu mau mengantar jahitan ini ke pelanggan. Nanti sore Andia yang antar yaa, nak. nanti kalau dapat uangnya, bisa ibu belikan untuk makan malam ayah” jawab ibu sambil melanjutkan pekerjannya.
Sungguh, hatiku sangat sakit melihat ibu yang hanya sendirian mencari uang sedangkan ayah hanya bersenang-senang dan tidak tau betapa sulitnya ibu bekerja untuk membeli apa yang ia makan dirumah. Tetapi, ibu tidak mau melawan. Ia menerima saja apa perlakuan ayah terhadapnya.
“assalamu’alaikum” terdengar suara yang tak asing di telingaku. Yaa.. itu kakak ku, kak Nando.
“wa’alaikumsalam… akhir-akhir ini Nando kok lama pulangnya ?” tanya ibu setelah kak nando mencium tangan ibu.
“maaf bu, Nando tadi mengajar anak-anak SD mengaji” jawab kak Nando singkat. Sudah 2 minggu kak nando menjadi guru mengaji anak-anak taman pendidikan Al-Qur’an di mesjid sebelah. Hanya aku yang tahu dirumah ini kalau kak nando bekerja.
“ya sudah. Ganti baju, lalu mandi. Nanti Nando tolong antarkan Andia ke tempat pelanggan jahitan ibu ya” kata ibu sambil melanjutkan kembali jahitan yang masih tersisa. Kak Nando mengangguk tanpa menyahut.
***
Akhirnya malam itu kami akan juga sekeluarga walaupun dengan lauk seadanya. Ayah makan dengan lahap tanpa melihat sedikitpun kea rah kami. Kak Nando melirik tajam kea rah ayah tanda ia tak suka dengan kelakuan ayah. Sedangkan aku dan ibu diam saja sambil meyuapi adik makan.
“makanannya Cuma segini. Mana lagi tambahannya !!!” bentak ayah sambil mehempaskan tangannya dimeja.
Ibu, aku dan adikku tersentak. Adikku menangis karena kaget. Sedangkat kak Nando memerah mukanya tanda ia menahan amarahya.
“AYAH BISA TIDAK BAIK-BAIK KALAU BERTANYA !!!” kata kak Nando keras. Ia tak bisa menahan emosinya kali ini.
Ayah mendelik, dan berkata “KAMU ANAK KECIL JANGAN COBA NASEHATI ORANG TUA !!!” ayah beranjak ke tempat duduk Kak Nando. “itu kesalahan ibu kalian !!!” kata ayah sambil menunjuk ibu
“ayah jangan menyalahkan ibu terus ! ayah tidak tau betapa letihnya ibu memikirkan semua biaya untuk makan sehari-hari, bekerja untuk mendapatkan uang, sedangkan ayah hanya santai melala sana-sini, mengambil dan menghamburkan uang yang di dapat ibu !” jawabku dengan spontan dan berani.
TARRR…
Tangan keras ayah menamparku. Mukaku terasa panas menahan semua amarah yang ku pendam. Airmataku mengalir. Dadaku terasa sesak. Aku menangis memeluk ibu dan adikku. Ibu juga menangis tanpa bicara dari tadi. Suasana rumah menjadi semakin hancur sehancur perasaanku saat ini. aku benci ayah… aku benci ayah… aku benci ayah…
“andia, nando, cepat bawa adik ke kamar” perintah ibu. Kami langsung melaksanakannya.
Diluar kamar, terdengar suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar. Sesekali ayah memukul meja makan dan menendang keras kursi. Entah apa yang berkecamuk dihatiku. Aku menangis lagi. Aku tak dapat membayangkan betapa tegarnya ibu, betapa gigihnya ibu, dan betapa hancurnya perasaan ibu saat ini.
“sudahlah din… jangan menangis terus” ujar kak Nando. Aku masih diam sambil memandang lantai kamar. “ayah orangnya memang keras”
Aku mengangguk. Membelai-belai rambut adikku yang kini terlelap. “kenapa ayah seekarang seperti itu ya kak ?” tanyaku tiba-tiba.
Kak Nando menggelengkan kepalanya. Ia merebahkan dirinya dan memejamkan mata dengan tangannya. “ini sudah nasib kita din”
PRAAAANNNGG
Terdengar suara piring di pecahkan seiring dengan suara tangisan ibu. Kemudian terdengar suara pintu dihempaskan dari arah pintu masuk. Yaa.. ayah pasti keluar lagi.
Aku dan kak Nando keluar lalu menghampiri ibu. Menuntun ke kamar ibu. Ibu yang kini terisak tak mampu bicara apa-apa. Hatinya pedih diperlakukan ayah seperti itu. Kak Nando memeluk ibu yang masih menangis dan aku menggenggam tangan ibu yang dingin
“ibu jangan menangis lagi” bujuk kak Nando “kan masih ada Nando, Andia dan dik Nazila bu”
“ibu hanya memandang kami dan mengangguk. Matanya yang sembab kini telah kering oleh airmata yang tak mengalir lagi.
“ayo, kalian wudhu… kita sholat berjama’ah sama-sama” kata ibu. Memaksakan dirinya untuk tersenyum di saat-saat seperti ini. hatiku teriris melihat ibu seperti ini. Ibu memang benar-benar wanita yang kuat.
***
Selesai sholat, aku berbaring memeluk ibu. Ibu balas memelukku. perasaan marahku pada ayah telah sirna oleh pelukan ibu yang hangat. Aku sayang ibu.
“bu…” sapaku.
“hm ?”
“ibu kuat ya… ibu sanggup menahan semua perlakuan ayah”
Ibu tersenyum. Aku tahu, di balik senyumnya itu ada luka yang tak mampu ia ungkapkan. “karna ibu sayang sama ayah, nak”
“sampai segitunya ya bu ? kenapa ibu tidak minta cerai saja sama ayah ?”
“kalau ibu cerai sama ayah, siapa yang akan memasakkan ayah makanan ? siapa yang mengurus ayah ?” jawab ibu. Aku tak menyangka ibu begitu memikirkan ayah.
“kenapa ibu mau menikah dengan ayah ?” tanyaku spontan. “maaf bu, andia tak seharusnya bertanya seperti itu”
Ibu tersenyum “kalau ibu menikah dengan orang lain, kak Nando, Andia, Nazila pasti tidak ada sekarang disini. Pasti ibu kesepian” kata ibu.
“seandainya waktu bisa diputar kembali, Andia rela kalau Andia gak ada. Asalkan ayah jangan menikah sama ibu” kataku.
“kenapa begitu ?” tanya ibu padaku.
“hati Andia sakit kalau melihat perlakuan kasar ayah. Ayah pemarah, sedangkan ibu penyabar. Sifat ayah sangat bertolak belakang dengan sifat ibu”
Ibu memandang langit kamar “terkadang apa yang kita anggap baik pada saat itu, belum tentu baik untuk saat kedepannya. Bisa saja semuanya berubah seiring berjalannya waktu” jawab ibu.
Aku memeluk ibu erat. Seakan berbagi rasa pahit yang di alaminya. Bagi sedikit rasa sakit itu bu… agar Andia tahu betapa getirnya yang ibu rasakan… gumamku dalam hati. Tetapi, ibu seolah-olah berkata, biarkan ibu yang merasakan semuanya, Andia. Ibu tak mau Andia merasakan apa yang ibu rasakan. Biarlah semua ibu yang menanggungnya…
***
Pagi itu ayah pulang kerumah. Seperti biasa ayah langsung menuju meja makan dan membuka tudung saji. Ayah melihat nasi dan lauk pauk di atas meja. Kemudia ayah mengambil piring, mengambil nasi dengan banyak dan lauk pauk yang ada, ayah makan dengan lahap. Ibu yang baru siap mencuci menghampiri ayah dan meminta maaf pada ayah. Ayah hanya diam saja tanpa memandang ibu.
Tanpa banyak bicara, ayah langsung menuju kamar dan tidur. Ibu hanya memandang ayah sampai di balik pintu. Aku melihat ibu menuju ke mesin jahit untuk melanjutkan pekerjaannya.
“andia… sst… sini” panggil kak Nando di balik jendela.
“ada apa kak ? kok ngumpet ?” tanyaku
“sstt… jangan keras-keras… kamu keluar dulu” perintah kak nando padaku. Tanpa banyak tanya aku pun keluar menuju jendela kamar di sampin teras.
“kita harus pergi untuk 1 hari ini saja. Kamu mau temani kakak kan ?”
“memangnya kita mau kemana kak ?”
“kemana aja. Yang penting kita gak ada dirumah saat ini. kakak mau bukti, apa ayah peduli sama kita atau nggak” kata kak nando.
“trus sekolahku gimana ? masa aku harus bolos ?”
“yaahh.. .sekali-sekali kan gak apa-apa”
Aku melihat notes kecil yang biasa kubawa kemana-mana. Kayaknya gaka ada ulangan hai ini, gumamku.
“ya udah deh… Andia ikut”
“oke, cepat naik” kata kak nando. Aku pun langsung di bonceng dengan sepeda kak Nando menuju taman.
***
Sore itu hujan. Aku dan kak Nando sengaja pulang tengah malam. Dengan keadaan yang basah kuyup, aku dan kak Nando masuk kerumah. ternyata di ruang tamu ayah dan ibu sudah menunggu.
“darimana saja kalian ?” selidik ayah. Kulihat wajah ibu tak kalah cemasnya.
“bukan urusan ayah” jawab kak Nando dingin. Lalu menuju ke kamar Nazila.
“ditanya kok jawabnya seperti itu. Ini gara-gara kamu !!! kamu tidak becus mengurus anak-anak” kata ayah sambil menunjkkan tangannya ke muka ibu. Aku yang melihat ibu disalahkan terus angkat bicara.
“ayah jangan seenaknya menyalahkan ibu !!! ibu gak salah apa-apa. Kami yang salah yah” kataku terisak.
“kalian kemana saja tadi ? hari sudah tengah malam, kalian baru pulang. Kalau kalian begini terus mau jadi apa kalian ?”
“bukannya ayah yang sering seperti itu?” kataku dengan nada menantang “ayah sering pulang pagi, ayah tidak bekerja, ayah sering menuntun ini- itu pada ibu. Ngapain aja ayah selama ini ?. ayah jelas-jelas pengngguran. Kerja apa ayah semalaman ? hasilnya toh.. gak ada juga” jawabku berani. Aku terpaksa melawan ayah. Maafkan Andia, ayah.
Ayah dengan muka merah menamparku untuk yang kedua kalinya. Aku menangis, ibu memelukku.
“jangan pukul anakku yah… ayah selalu saja seperti itu”
“ITU KARNA KAMU TIDAK BECUS MENGAJARI ANAK-ANAK SOPAN SANTUN”
“BUKAN KARNA AKU !!! TAPI KARNA KAMU YANG TIDAK PERNAH MENDIDIK MEREKA. KAMU YANG MEMBUAT MEREKA MELAWAN”jawab ibu lantang. Aku tahu, ibu sudah letih dengan semua ini.
Ayah dan ibu bertengkar lagi. Aku tidak tahan melihat kejadian ini. aku pusing. Tanpa pikir panjang, aku berlari keluar rumah. Menyebrangi jalan ditengah hujan deras malam itu. Ayah mengejarku dari belakang, tapi aku tidak peduli. Aku terus berlari dan tiba-tiba….
BRUUGG…. TRAAKKK…
Apa itu ?
Aku menoleh ke belakang.
“AYAAAAAHHHHHHH” ibu menjerit sekuat tenaga. Ayah tertabrak. Truk yang menabrak ayah melarikan diri.
Aku terpaku di tengah hujan. Badanku lemas. Aku terduduk dan menangis. Kak Nando datang dan menggendongku. Aku memberontak dan dengan sekuat tenaga kuhampiri ayah yang berlumuran darah. Sebentar saja orang-orang sudah ramai.
“CEPAT TELEPON AMBULAN” seru seseorang disana. Ibu dan kak Nando terus menangis. Sementara sebelum ambulan datang, ayah masih sadar.
“bu…”
“ayah sudah sadar ? ayah.. bertahan ya ayah” kata ibu.
“bu…. Aya…h m..m..minta maaf… kkk…kalau ayah...hhh ad….dda ssss..salah” kata ayah lemah.
Ibu menangis “ayah jangan ngomong seperti itu. Ayah harus kuat yaa… ayah harus bertahan. Ibu sudah maafin semuanya yah…” kata ibu.
Ayah tersenyum dan memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ayah menhhembuskan nafasnya yang terakhir.
“AYAAAHHH” teriak aku, kak Nando dan Ibu bersamaan.
“innalilahiwa’inna ilaihi roji’un”
***
Pagi ini ayah dikebumikan. Dengan perasaan yang sangat menyesal, sebelum ayah meninggal, aku sempat melawan ayah. Yaa… aku merasa akulah anak yang durhaka terhadap ayahku. Ibuku tak hentinya menangis. Kak Nando tak berhenti membacakan ayah yasin.
Jangan tanya perasaanku saat itu. Aku hancur. Kini aku menjadi anak yatim. Adikku, Nazila… sudah pasti nanti ia dibesarkan tanpa kasih sayang dari seorang ayah. Kini pula ibuku yang mejadi single parent. Ibu sekaligus ayah bagi kami semua.
Bendera putih kini telah dipasang di depan rumahku. Orang ramai berlalu lalang tak mampu membuatku menghilangkan luka yang kualami saat ini. ayah sudah tiada lagi. Tak ada lagi yang memberiku permen murah kala aku kecil. Tak ada lagi yang menungguku ketika aku pulang malam seperti waktu kemarin. Dan tak ada lagi kasih sayang seorang ayah…
Pagi ini pelangi muncul seolah-olah menyampaikan salam perpisahan pada ayah. Yaa… pelangi tujuh warna itu kini menjadi penghiburku disaat aku kehilangan orang yang kusayang. Pelangi karena hujan kemarin. Dan hujan kemarin yang membuat semuanya berubah seperti sekarang.
Kini sejak kejadian itu, aku selalu menanti hujan tiba. Hujan yang menyisakan luka, dan memunculkan pelangi setelahnya. Pelangi itu ku tunggu hadir kembali yang mengingatkan aku pada orang yang telah hilang. Orang yang kusayang.
Ayah…
pelangi itu untuk ayah.
Percakapan Obrolan Berakhir..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar