PERTIMBANGAN
Karya Aris Prima Gunawan
Apalah artinya pendidikan jikalau semua telah tersedia. “Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, DPR, Guru, Dokter, ABRI, bahkan yang menuju bulanpun telah ada.” Terserah bagaimana tanggapanmu dan siapa saja yang mendengarkan ucapanku, lalu serta-merta kau bersama pendengar lainnya memberikan sebuah penilaian tentang apa yang aku ucapkan. Aku jauh berbeda denganmu, pikiranku taksejernih pikiranmu, kecerdasan imajinasiku pastinya juga taksepertimu. Begitulah caraku memandang, agar tak menyusahkan orang tua, membanting tulang. Tak perlu kupikirkan mereka semua natinya akan pensiun, dan segera diganti dengan generasi baru. Tak perlu aku berangan-angan terlalu jauh, yang nantinya akan menghantarkanku pada kegilaan. Pada dasarnya ayahku juga mengatakan, “kalaupun mereka pensiun, bukan akulah orang yang akan menjadi pengganti mereka.” Sebab aku bukan putra seorang pengusaha dan pejabat negara. “Aku hanya putra seorang nelaya, dan bukan nelayan sukses. Aku hanya putra nelayan yang memiliki ekonomi keluarga yang serba bersyukur.” Begitulah Wira menghadang ajakan Irwan untuk yang kedua kalinya, agar ia melanjutkan pendidikannya diperguruan tinggi.
Pertimbangan |
Irwan terpukau meninggalkan sahabatnya yang begitu luar biasa cerdas, bijaksana, mandiri, yang pasti dimatanya Wira tampak begitu sempurna. “Meski tak ada manusia yang sempurna.” Mungkin ketidaksempurnaan Wira hanya pada nasibnya, yang menghidupi keluarganya dengan menjadi nelayan bersama ayahnya.
Kapal ini semakin mempercepat lajunya, aingin laut seakan mengajak kapal ini berdansa bersama ombak-ombak yang mulai memperbanyak keturunannya, derik tubuh kapal terdengar semakin keras seperti akan pecah, hingga kecoak-kecoak keluar dari sarangnya. Semua tak dihiraukan Irwan, sebab ia tengah terlena dan terpukau. Walaupun sahabatnya tak lagi berkata-kata dihadapannya, tetap saja kata-kata sebelumnya menghantuinya.
“Mengapa harus aku?” “Mengapa harus mereka?” Pertanyaan-pertanyaan yang selalu bergelut diotak kecil Irwan. Sementara aku takpernah memanfaatkan semua kesempatan yang ada, sebagaimana ini merupakan tanggungjawab, begitu juga mereka, yang tampak sebagian besar sama sepertiku. Adapun di tempatku mahasiswa yang menggali ilmu seperti Wira, mungkin mereka yang beruntung atau mereka yang telah dibantu untuk mencapai cita-citanya.
Tetapi semua dapat dihitung dengan jari. “Bahkan jika ada alat penghitung yang lebih sedikit dari jumlah jari tangan serta jari kaki, pastinya juga bisa menghitung para Wira yang ada di kampusku.” Sunggu semua menjadi pertanyaan yang membumerang pikiran Irwan.
Angin laut mulai mengubah arahnya, sepertinya kapal dan ombak akan semakin bergairah untuk berdansa. Sebab dari arah timur tampak begitu gelap, badai akan segera merambas lautan, seluruh penumpang kapal yang duduk disebelah Irwan berhamburan masuk kebadan kapal, Irwan masih duduk, tak menghiraukan mereka yang berhamburan ke dalam. Beberapa menit bagian belakang kapal tempat Irwan duduk merenung telah sepi.
Sekarang ia tinggal sendiri, tapi semua tak ia sadari, hingga gemuruh mulai mendegam, hujan mulai lebat, tempias semakin membasahi punggung kapal tempat Irwan duduk, yang membuat Irwan tersentak dari keterpukauannya yang telah menjadi lamunan baginya. Irawan menoleh ke kanan, kiri, belakangnya tak ada lagi orang yang duduk, bahkan para turis yang sebelumnya asik berbincang-bincang dengan sesamanya juga telah masuk ke badan kapal.
Ia mulai beranjak, menuju ke badan kapal menjaga agar tubuh, tas, serta bekal-bekalnya tidak dibasahi hujan. Badan kapal terlihat padat, ia terus menerawang di mana akan merebahkan tubuh. Walau matanya belum mengantuk, namun tubuhnya terasa begitu letih menyandangi tas dan sebuah kardus mie instan yang berisikan bekal. Langkahnya terus melaju dengan bersandarkan sebelah tangannya ke dinding kapal, untuk mencari tempat istirahat. Tiap kali melangkah matanya terus menoleh ke lantai memperhatikan penumpang yang tengah tertidur lelap, agar tak terinjak olehnya.
Berjalan di kapal yang tengah dilanda badai, tetunya sangat menguras tenaga Irawan. Namun ia tak juga temukan tempat beristirahat, kalaupun ada, hanyalah dijenjang kapal, dan itupun bukanlah tempat yang nyaman, apalagi suasana lautan yang tengah diterjang badai. Tetapi begitulah adanya, memang itu pilihan terbaik, dari pada ia terus berdiri, menanti perjanan kapal yang masih memakan waktu selama tujuh jam.
Dijenjang kapal yang begitu kecil, kira-kira satu meter lebarnya, Irwan duduk bersandar. Memetik sebatang rokok, dengan perasaan yang tengah gelisah, karena apa yang dikatakan Wira sahabnya masih saja menghantui pikirannya, “sebegitu hebatnya pengaruh ucapan sahabatku, hingga membuatku gelisah,” begitulah pikirannya, yang terus berputar sekilas ucapan Wira.
Namun ia kembali berfikir, bukan hanya ucapan Wira saja yang mungkin membuat hati ini dilanda kegelisahan. Tempat ia duduk bersandar, suasana lautan yang tidak bersahabat, kecoak yang berkeliaran dijenjang kapal, sepertinya juga menjadi permasalahan kegelisahannya tubuh dan fikirannya, sungguh malang tubuh serta fikiranku kali ini. Begitu hasil perubahan pikirannya, yang sebelumnya memikirkan penderitaan sahabatnya, berubah setelah ia merasakan sebuah penderitan yang ia rasakan di kapal.
Karena tubuh yang begitu letih, pikiran yang tengah gundah-gulana, merasakan penderitaan yang begitu berat baginya duduk dijenjang kapal, Irwanpun merasa terkantuk-kantuk, dan melipat buku catatan kecilnya yang ia isi selama duduk di jenjang kapal. Lautan mulai tenang, hari tampaknya telah memasuki waktu subuh, para penumpang tampak terjaga. Irwan harus segera berpindah, sebab keberadaannya dijenjang akan menggangu para penumpang berlalu-lalang.
Ia kembali duduk di bangku panjang, di punggung kapal tempat ia duduk sebelumnya, dan di bangku itulah ia merebahkan tubuhnya. Mungkin karena matahari mulai terbit matanya kembali nyalang dan kantuknyapun hilang. Hingga ia mencoba untuk kembali duduk dan menoleh kerah lautan lepas yang tak lagi menampakkan pulau tempat ia tinggal.
“Kenapa kamu tidak tidur semalaman?” Tiba-tiba seorang wanita manis, laksana bidadari yang dihantarkan oleh cerahnya mentari pagi, mendekatinya, dan bertanya padanya.
Irwan berfikir apa ini yang dikatakan bidadari, namun kenapa ia singgah dipagi hari, atau justru ini yang dikatakan ratu dari laut selatan yang singgah ditengah badai semalam. Karena sosok perempuan itu teramat cantik di mata Irwan, membuatnya hilang akan perasaan gelisah yang ia hadapi semalaman.
“Ka…, mu siapa? Kok…, kamu tahu?” Walau Irwan bergairah kembali, tidak lagi gudah-gulana, namun Irwan tetap saja gugup.
“Saya Maya.” “Semua orang memang tampak rebah semalaman, bukan berarti tertidur, saya semalaman memperhatikan kamu yang begitu gelisah di jenjang kapal, dan sepertinya kamu memiliki banyak beban.”
“Oh…, iya…, nama kamu siapa?” Perempuan yang bernama maya itu kembali bertanya.
“Irwan.” Dengan cepat Irwan menjawab. Yang pastinya lebih tenang dan tak lagi gugup.
Rupanya masih ada yang memperhatikanku, ternyata tidak semua yang tidak peduli terhadap penderitaanku semalam. Lebih spesialnya lagi, yang memperhatikanku yaitu wanita cantik. Begitulah kata-kata yang terukir dalam benaknya, yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Hingga kapal berlabuh, perbincangan Irwan dengan Maya wanita yang baru ia kenal masih saja berlangsung, dengan canda, dan tawa. Mereka bagaikan sepasang kekasih yang tengah melepas rindu, yang sekian lama terpendam dalam ruang dan waktu.
Tampaknya sudah lebih dari setengah penumpang kapal yang turun ke pelabuhan. Namun cerita mereka tak juga usai, sepertinya akan lama jika diteruskan, merekapun mulai beranjak keluar dari kapal, dan setiap langkah yang mereka jalani masih saja berhiaskan cerita dan canda. Hingga perbincangan merekapun terbawa diperjalanan sebuah teksi yang melaju mulus meninggalkan kapal berisikan kardus mie instan dan buku catatan kecil.***
Lubuk Alung, April 2013
Kapal ini semakin mempercepat lajunya, aingin laut seakan mengajak kapal ini berdansa bersama ombak-ombak yang mulai memperbanyak keturunannya, derik tubuh kapal terdengar semakin keras seperti akan pecah, hingga kecoak-kecoak keluar dari sarangnya. Semua tak dihiraukan Irwan, sebab ia tengah terlena dan terpukau. Walaupun sahabatnya tak lagi berkata-kata dihadapannya, tetap saja kata-kata sebelumnya menghantuinya.
“Mengapa harus aku?” “Mengapa harus mereka?” Pertanyaan-pertanyaan yang selalu bergelut diotak kecil Irwan. Sementara aku takpernah memanfaatkan semua kesempatan yang ada, sebagaimana ini merupakan tanggungjawab, begitu juga mereka, yang tampak sebagian besar sama sepertiku. Adapun di tempatku mahasiswa yang menggali ilmu seperti Wira, mungkin mereka yang beruntung atau mereka yang telah dibantu untuk mencapai cita-citanya.
Tetapi semua dapat dihitung dengan jari. “Bahkan jika ada alat penghitung yang lebih sedikit dari jumlah jari tangan serta jari kaki, pastinya juga bisa menghitung para Wira yang ada di kampusku.” Sunggu semua menjadi pertanyaan yang membumerang pikiran Irwan.
Angin laut mulai mengubah arahnya, sepertinya kapal dan ombak akan semakin bergairah untuk berdansa. Sebab dari arah timur tampak begitu gelap, badai akan segera merambas lautan, seluruh penumpang kapal yang duduk disebelah Irwan berhamburan masuk kebadan kapal, Irwan masih duduk, tak menghiraukan mereka yang berhamburan ke dalam. Beberapa menit bagian belakang kapal tempat Irwan duduk merenung telah sepi.
Sekarang ia tinggal sendiri, tapi semua tak ia sadari, hingga gemuruh mulai mendegam, hujan mulai lebat, tempias semakin membasahi punggung kapal tempat Irwan duduk, yang membuat Irwan tersentak dari keterpukauannya yang telah menjadi lamunan baginya. Irawan menoleh ke kanan, kiri, belakangnya tak ada lagi orang yang duduk, bahkan para turis yang sebelumnya asik berbincang-bincang dengan sesamanya juga telah masuk ke badan kapal.
Ia mulai beranjak, menuju ke badan kapal menjaga agar tubuh, tas, serta bekal-bekalnya tidak dibasahi hujan. Badan kapal terlihat padat, ia terus menerawang di mana akan merebahkan tubuh. Walau matanya belum mengantuk, namun tubuhnya terasa begitu letih menyandangi tas dan sebuah kardus mie instan yang berisikan bekal. Langkahnya terus melaju dengan bersandarkan sebelah tangannya ke dinding kapal, untuk mencari tempat istirahat. Tiap kali melangkah matanya terus menoleh ke lantai memperhatikan penumpang yang tengah tertidur lelap, agar tak terinjak olehnya.
Berjalan di kapal yang tengah dilanda badai, tetunya sangat menguras tenaga Irawan. Namun ia tak juga temukan tempat beristirahat, kalaupun ada, hanyalah dijenjang kapal, dan itupun bukanlah tempat yang nyaman, apalagi suasana lautan yang tengah diterjang badai. Tetapi begitulah adanya, memang itu pilihan terbaik, dari pada ia terus berdiri, menanti perjanan kapal yang masih memakan waktu selama tujuh jam.
Dijenjang kapal yang begitu kecil, kira-kira satu meter lebarnya, Irwan duduk bersandar. Memetik sebatang rokok, dengan perasaan yang tengah gelisah, karena apa yang dikatakan Wira sahabnya masih saja menghantui pikirannya, “sebegitu hebatnya pengaruh ucapan sahabatku, hingga membuatku gelisah,” begitulah pikirannya, yang terus berputar sekilas ucapan Wira.
Namun ia kembali berfikir, bukan hanya ucapan Wira saja yang mungkin membuat hati ini dilanda kegelisahan. Tempat ia duduk bersandar, suasana lautan yang tidak bersahabat, kecoak yang berkeliaran dijenjang kapal, sepertinya juga menjadi permasalahan kegelisahannya tubuh dan fikirannya, sungguh malang tubuh serta fikiranku kali ini. Begitu hasil perubahan pikirannya, yang sebelumnya memikirkan penderitaan sahabatnya, berubah setelah ia merasakan sebuah penderitan yang ia rasakan di kapal.
Karena tubuh yang begitu letih, pikiran yang tengah gundah-gulana, merasakan penderitaan yang begitu berat baginya duduk dijenjang kapal, Irwanpun merasa terkantuk-kantuk, dan melipat buku catatan kecilnya yang ia isi selama duduk di jenjang kapal. Lautan mulai tenang, hari tampaknya telah memasuki waktu subuh, para penumpang tampak terjaga. Irwan harus segera berpindah, sebab keberadaannya dijenjang akan menggangu para penumpang berlalu-lalang.
Ia kembali duduk di bangku panjang, di punggung kapal tempat ia duduk sebelumnya, dan di bangku itulah ia merebahkan tubuhnya. Mungkin karena matahari mulai terbit matanya kembali nyalang dan kantuknyapun hilang. Hingga ia mencoba untuk kembali duduk dan menoleh kerah lautan lepas yang tak lagi menampakkan pulau tempat ia tinggal.
“Kenapa kamu tidak tidur semalaman?” Tiba-tiba seorang wanita manis, laksana bidadari yang dihantarkan oleh cerahnya mentari pagi, mendekatinya, dan bertanya padanya.
Irwan berfikir apa ini yang dikatakan bidadari, namun kenapa ia singgah dipagi hari, atau justru ini yang dikatakan ratu dari laut selatan yang singgah ditengah badai semalam. Karena sosok perempuan itu teramat cantik di mata Irwan, membuatnya hilang akan perasaan gelisah yang ia hadapi semalaman.
“Ka…, mu siapa? Kok…, kamu tahu?” Walau Irwan bergairah kembali, tidak lagi gudah-gulana, namun Irwan tetap saja gugup.
“Saya Maya.” “Semua orang memang tampak rebah semalaman, bukan berarti tertidur, saya semalaman memperhatikan kamu yang begitu gelisah di jenjang kapal, dan sepertinya kamu memiliki banyak beban.”
“Oh…, iya…, nama kamu siapa?” Perempuan yang bernama maya itu kembali bertanya.
“Irwan.” Dengan cepat Irwan menjawab. Yang pastinya lebih tenang dan tak lagi gugup.
Rupanya masih ada yang memperhatikanku, ternyata tidak semua yang tidak peduli terhadap penderitaanku semalam. Lebih spesialnya lagi, yang memperhatikanku yaitu wanita cantik. Begitulah kata-kata yang terukir dalam benaknya, yang membuat hatinya berbunga-bunga.
Hingga kapal berlabuh, perbincangan Irwan dengan Maya wanita yang baru ia kenal masih saja berlangsung, dengan canda, dan tawa. Mereka bagaikan sepasang kekasih yang tengah melepas rindu, yang sekian lama terpendam dalam ruang dan waktu.
Tampaknya sudah lebih dari setengah penumpang kapal yang turun ke pelabuhan. Namun cerita mereka tak juga usai, sepertinya akan lama jika diteruskan, merekapun mulai beranjak keluar dari kapal, dan setiap langkah yang mereka jalani masih saja berhiaskan cerita dan canda. Hingga perbincangan merekapun terbawa diperjalanan sebuah teksi yang melaju mulus meninggalkan kapal berisikan kardus mie instan dan buku catatan kecil.***
Lubuk Alung, April 2013
PROFIL PENULIS
Nama: Aris Prima Gunawan
Alamat: Sioban, Kec. Sipora, Kab. Kep. Mentawai
Facebook: Aris Prima Gunawan
Alamat: Sioban, Kec. Sipora, Kab. Kep. Mentawai
Facebook: Aris Prima Gunawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar